MEMPUNYAI ADAB (KEBAIKAN
BUDI PEKERTI) MESKIPUN SEDIKIT ADALAH LEBIH diBUTUHKAN DARIPADA (MEMILIKI)
BANYAK ILMU PENGETAHUAN.
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
أكملُ المؤمنين إيمانًا أحسنُهم
خُلقًا
“Kaum Mu’minin yang paling sempurna imannya
adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. Tirmidzi no. 1162, ia berkata: “hasan
shahih”).
Menurut Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim al-ASy’ari, sebagaimana tercantum dalam kitab karya beliau, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim dijelaskan adab meminta izin kepada guru saat memasuki majelisnya. Hendaknya saat menghadiri majelisnya guru, pelajar terlebih dahulu permisi meminta izin, di mana pun berada, baik saat gurunya sendirian atau bersama orang lain. Kecuali dalam majelis umum yang disediakan untuk siapapun yang mau mengikuti, maka tidak perlu izin. Ketika guru mengetahui keberadaan murid dan tidak mengizinkannya untuk berada di sebuah majelis, maka sebaiknya murid langsung beranjak dan tidak perlu mengulangi untuk meminta izin. Bila pelajar ragu apakah sang guru mengetahui keberadaannya atau tidak, maka boleh mengulangi untuk meminta izin, namun sebaiknya tidak lebih dari tiga kali. Saat mengetuk pintu kamar sang guru, sebaiknya dengan pelan, sopan, menggunakan kuku, tidak dengan suara keras yang dapat mengganggu kenyamanan beliau. Saat guru mempersilakan masuk dan yang sowan adalah orang banyak, maka sebaiknya dipimpin oleh murid yang paling utama dan senior, selanjutnya satu persatu dari mereka mengucapkan salam. Saat sowan menghadap guru, hendaknya dengan penampilan sebaik mungkin, suci dan bersih badan serta pakainnya, kukunya dipotong, wangi baunya. Terlebih saat berada di majelis ilmu, harus lebih perfect lagi penampilannya,
Sesungguhnya majelis ilmu adalah majelis
dzikir dan ibadah. Saat hendak menemui guru sementara beliau sedang
bercakap-cakap dengan orang lain, atau tengah melakukan aktivitas seperti
berdzikir, shalat dan lainnya, maka hendaknya murid diam, tidak boleh mengawali
pembicaraan. Sebaiknya ucapkan salam dan segera keluar, kecuali gurunya
memerintahkan untuk tetap berada di tempat. Saat diam menunggu guru, hendaknya
tidak terlalu lama, kecuali bila ada perintah dari guru. Saat tiba waktu
belajar, sementara gurunya belum datang atau sedang istirahat, hendaknya sabar
menanti sampai beliau datang, atau boleh juga pulang terlebih dahulu lalu
kembali lagi, namun sebaiknya tetap bersabar menunggu guru di tempat mengaji.
Pelajar tidak perlu mengetuk pintu guru atau membangunkannya dari istirahat.
Sebaiknya murid tidak membuat-buat
waktu sendiri, waktu khusus untuk dirinya yang berbeda dengan teman pelajar
lain. Sebab hal demikian termasuk bentuk kesombongan dan tindakan bodoh,
berakibat tidak baik kepada guru dan teman pelajar yang lain. Namun, bila sang guru
terlebih dahulu menawari memberi waktu khusus, misalkan karena ada udzur yang
menghalanginya untuk belajar bersama teman-teman pada umumnya atau guru
memiliki pertimbangan tertentu dalam menyendirikannya, maka hal tersebut tidak
bermasalah. Kedelapan, duduk bersama guru dengan penuh etika. Saat menghadap
gurunya, hendaknya dengan posisi yang sopan, semisal duduk berlutut di atas
kedua lutut atau seperti duduk tasyahud (namun tidak perlu meletakan kedua
tangannya di atas kedua paha), atau duduk bersila, dengan rendah diri, tenang
dan khusyu’, tidak boleh menengok kanan kiri tanpa dlarurat, menghadap gurunya
dengan keseluruhan tubuhnya, mendengar perkataan guru dengan seksama,
memandangnya, mencermati arahannya sehingga guru tidak perlu mengulangi lagi penjelasannya.
Tidak perlu menengok kanan-kiri atau arah atas tanpa ada hajat, terlebih saat
guru membahas pelajar.
Saat ada keramaian di tengah-tengah
pelajaran, murid tak perlu belingsatan tak beraturan, dianjurkan tetap tenang.
Dianjurkan pula untuk tidak melipat lengan baju, tidak bermain-main dengan
kedua tangan atau kakinya atau anggota tubuh yang lain, tidak membuka mulut,
tidak menggerakan gigi, tidak memukul lantai atau benda lainnya, tidak
menggenggam jari jemari, tidak bermain-main dengan sarung atau pakainnya, tidak
bersandar di tembok atau bantal, tidak membelakangi gurunya, tidak menceritakan
hal-hal yang menertawakan atau perbincangan yang tidak pantas. Tidak banyak
tertawa berlebihan di hadapan guru, bila terpaksa harus tertawa dianjurkan tersenyum
tanpa bersuara. Sebisa mungkin tidak berdehem, saat terpaksa bersin, hendaknya
mengecilkan volume suaranya sebisa mungkin serta menutupi wajahnya dengan sapu
tangan. Ketika menguap, dianjurkan menutup mulut. Di majelisnya guru, hendaknya
menjaga adab beserta rekan-rekannya guru dan segenap hadirin. Selayaknya
menghormati teman-teman sang guru atau para seniornya, sesungguhnya bersikap
santun kepada mereka adalah bagian dari beradab kepada guru dan menghormati
majelisnya. Dianjurkan pula untuk tidak maju atau mundur dari barisan dengan
niat membuat halaqah sendiri, tidak berbicara menyimpang saat pelajaran
berlangsung atau pembicaraan yang dapat memotong pembahasan.
Ketika sebagian siswa berlaku buruk
kepada rekan yang lain, hendaknya tidak membentaknya, hanya guru yang berhak
melakukannya, kecuali mendapat mandat dari guru. Ketika gurunya dicaci, wajib
bagi segenap siswa secara kolektif untuk membela gurunya, memperingatkan pihak
yang mencaci, bila perlu membentaknya. Dianjurkan pula tidak mendahului guru
dalam menjelaskan sebuah permasalahan atau menjawab pertanyaan kecuali atas
seizinnya. Termasuk memuliakan guru adalah tidak duduk di sampingnya,
tempat salatnya atau selimutnya. Bila gurunya yang memerintahkan, maka
sebaiknya menolak, kecuali ia betul-betul yakin gurunya merasakan keberatan
atas penolakannya. KH. Hasyim Asy’ari selanjutnya menyinggung perbedaan
pendapat di kalangan ulama
mengenai mana yang lebih utama antara mematuhi
perintah guru atau menempuh jalan adab. Menurut pandangan Hadlratus Syekh,
diperinci. Mematuhi perintah guru lebih utama jika sang guru betul-betul
menekankan perintahnya tersebut. Namun bila tidak demikian, maka lebih baik
menempuh jalan adab, meski dengan menolak perintah guru. Sebab, bisa jadi
gurunya sebatas ingin menguji tatak rama muridnya dan sebatas mana kepedulian
siswa terhadap sang guru. Kesembilan, berbicara yang baik kepada guru.
Sebisa mungkin murid menghindari perkataan
“kenapa?”, “saya tidak setuju”, “dari mana keterangannya” dan ucapan protes
lainnya di hadapan guru. Bila maksudnya adalah untuk meminta penjelasan dari
guru, maka hendaknya dengan tutur kata yang sopan dan pelan-pelan. Lebih baik
lagi disampaikan di kesempatan yang lain dengan niatan meminta penjelasan,
bukan bermaksud menguji atau menentang gurunya. Bila penjelasan guru berbeda
dengan tokoh yang lain atau literatur yang dibaca murid, tidak sopan pelajar
membandingkannya di hadapan guru, misalkan “yang saya dengar anda menjelaskan
demikian, sedangkan menurut Syekh ini demikian, menurut kitab ini demiian” “apa
yang anda jelaskan tidak benar” dan perkataan yang semisalnya. Saat guru keliru
menjelaskan, murid harus memaklumi. Hal yang demikian hendaknya tidak
mengurangi sedikitpun ta’zhimnya kepada sang guru. Sesungguhnya kekeliruan
adalah hal yang wajar pada diri manusia, keterjagaan hanya dimiliki oleh para
nabi ‘alaihimus shalatu was salam.